Menulis itu sulit kalau kita tidak pernah memulainya.
Menulis itu sulit bagi mereka yang tidak pernah membaca. Membaca buku, membaca
ciptaan Tuhan pemilik bumi dengan hatinya, dan membaca lingkungan
sekelilingnya. Baca, baca dan baca itu kuncinya. Lalu banyaklah berlatih
menulis. Dengan banyak menulis anda akan jadi terbiasa menulis.
Menulis apa saja yang anda ingin tulis. Menulis
tentang diri, menulis tentang sahabat setia anda, menulis tentang keluarga,
menulis tentang alam sekitar dan menulis tentang kejadian-kejadian yang kita
alami. Boleh juga menulis tentang keinginan-keinginan yang belum tercapai.
Pokoknya, menulis sajalah dulu. Dengan topik apa saja dan jangan takut salah.
Salah benar itu relatif, tergantung dari sudut mana kita menilai. Pembaca
biasanya akan melihat tulisan anda itu baik, kalau ada sesuatu yang menyentuh
hatinya. Karena itu, selalu menulis dengan hati dengan cara banyak mendengar
dan menjadi pendengar yang baik. Berbuat kebaikan jadikan panduan dalam menulis.
Menulis dengan hati harus hati-hati. Sebab bila tidak
hati-hati percuma saja, tulisan anda tidak akan mengena dihati. Seperti busur
panah yang tepat sasaran, anda harus dapat membidiknya dengan baik. Hal itu
anda dapatkan dengan banyak berlatih.
Berlatih menulis dimana saja dan kapan saja pada saat
hati anda senang atau pada saat anda memang ingin menulis. Menulis sesuatu yang
membuat anda termotivasi untuk menuliskannya. Sehingga orang lain tertarik
untuk membacanya. Menulis ibarat sebuah pisau, bila sering diasah, maka akan
semakin tajam.
Menulis itu sulit buat orang yang malas. Malas untuk
menuangkan ide yang ada dalam pikirannya. Malas untuk mengolah kata menjadi
bermakna. Malas untuk berbagi dan memberi kepada orang lain. Hidupnya hanya
untuk dirinya sendiri. Kemalasan telah mengikat dirinya dengan tali yang sangat
kuat.
Orang malas tak pandai melawan dirinya. Dia akan
kalah dengan dirinya sendiri. Seribu alasan akan dicari. Seribu hambatan akan
dibuat. Padahal hambatan terbesar berasal dari dalam dirinya sendiri. Sering
menunda adalah makanan favoritnya, dan merasa diri tidak mampu menulis adalah
iklan kelemahannya yang selalu terpampang besar di bola matanya. Wajar saja
bila akhirnya menulis itu sulit.
Sebuah tulisan mempunyai pengaruh yang sangat besar, karena ia adalah
kepanjangan dari lisan kita. Imam Al-ghazali (seorang birokrat yang kemudian
menjadi seorang sufi ) pernah berdialog dengan muridnya tentang enam hal. Satu diantaranya
Beliau bertanya apa yang paling tajam dimiliki manusia, maka jawabannya adalah
lisan. Pepatah mengatakan ” andaikan pedang melukai tubuh adakan harapan
sembuh, tapi bila lidah melukai hati kemanakan obat dicari”,maaf kalau salah
pribahasanya.
Oleh karenanya ketika kita akan menulis (pendapat pribadi), bukan hanya
mengedepankan data ilmiyah yang katanya harus memiliki rasionalitas yang
tinggi, akurat, dapat dipertanggungjawabkan, tapi harus disertai dengan bahasa
hati( apakah tulisan ini bermanfaat, tidak menyakiti orang lain, ataukah justru
kalau tulisan ini dipublikasikan akan membawa keburukan).
Kenapa bahasa hati, hati adalah tempat kejujuran, hati adalah tempat
kebenaran, disitu tidak ada kebohongan (Ali bin Abi Thalib r.a pernah
mengatakan kalau engkau ingin saksi yang adil, tidak berbohong, jujur maka
jadikanlah hatimu sebagai saksi.
Tulisan yang ditulis dengan hati, siapapun yang menulis akan ada kejujuran
didalamnya, lihat siapa penulis “seratus tokoh yang berpengaruh didunia”,
Michael Hart, dia bukan seorang muslim tapi menempatkan Muhammad SAW sebagai
orang nomor satu yang berpengaruh didunia, kenapa ini bisa terjadi, karena ia
menulis dengan hati.
Perlu kita pahami sekali lagi tulisan kita adalah kepanjangan lisan kita,
dan lisan kita adalah kepanjangan dari hati kita. Tulisan yang dilandasi oleh
hati walaupun mengkritik, maka kritiknya bukan menjatuhkan tapi justru
membangun. Karena didalamnya bukan hanya kritik saja yang disampaikannya, tapi
juga solusi.
Jangan pernah kita berprinsip bisa mengkritik tapi
tidak mau dikritik. Menerima kritikpun harus dengan hati, kita harus yakin
bahwa ketika orang lain mengkritik itu menunjukan kepada kita bahwa mereka
menginginkan kita menjadi lebih baik.
Penguasaan terhadap suatu keterampilan terbukti dapat
memuluskan jalan hidup seseorang. Karena itu, penting bagi setiap individu
untuk membekali diri dengan keahlian tertentu. Caranya bisa melalui pendidikan
formal maupun otodidak.
Sebuah keterampilan, termasuk kemampuan menulis, tentu
tidak diperoleh secara simsalabim, melainkan lewat proses yang cukup panjang.
Tidak ada penulis yang lahir instan. Kalaupun ada yang begitu muncul langsung
‘menyentak’ jagad kepenulisan, sebenarnya tidaklah demikian. Jauh sebelumnya si
bersangkutan telah menempa dirinya, hanya saja mungkin luput dari sorotan.
Boleh jadi selama ini dia getol menulis, tapi tidak terpublikasikan.
Begitu pula para penulis yang sekarang kita kenal sangat produktif, mereka
tidak serta‑merta piawai menulis. Dulunya juga mengalami banyak kendala, sering
macet dan tersendat‑sendat saat hendak menuangkan gagasan. Namun, berkat tekun
belajar, terus berlatih dan berlatih, seiring perjalanan waktu kemampuan
menulis mereka pun semakin lancar.
Suatu hari, karena penasaran dengan produktivitas La
Rose yang luar biasa dalam menulis dia ditanya, “Berapa lama waktu yang Anda
perlukan untuk menyelesaikan satu tulisan?” Tanpa diduga dia menjawab: “15
tahun!”
Keruan saja si penanya kaget dan bingung. Sejenak
kemudian La Rose pun menjelaskan, bahwa dia memang bisa merampungkan sebuah
tulisan dengan mudah, hanya butuh sekian menit. Tapi untuk sampai pada tahap
piawai menulis seperti itu, tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya; bagaimana
dulu susahnya ia berusaha menembus media massa. Entah berapa banyak tulisannya
yang ditolak dan berakhir di tong sampah redaksi. “Untungnya, puluhan tahun
silam saya tak mudah menyerah, sehingga sekarang bisa menulis dengan mudah,”
kata pengarang perempuan itu pada wartawan yang mewawancarainya.
Pengalaman La Rose (alm) tersebut kiranya layak
dijadikan pelajaran, terutama bagi yang merintis karir di bidang kepenulisan,
bahwa kegagalan itu adalah hal yang lumrah. Mental seperti inilah yang harus dimiliki
oleh calon penulis. Sebab, berapa banyak mereka yang sebetulnya potensial, tapi
karena tak kuat menghadapi penolakan, terpaksa mengubur impiannya. Padahal jika
dia mau bertahan, cepat atau lambat, pasti kelak akan berhasil menjadi penulis
handal.
Di dunia ini tak ada hal yang lebih menentukan dari
ketekunan, ujar Calvin Coolidge. Bakat tidak, sebab betapa banyak orang
berbakat yang jauh dari kesuksesan. Jenius pun tidak, karena jenius yang gagal
hampir ada di mana‑mana. Juga bukan pendidikan, karena di dunia ini penuh
dengan pengangguran intelektual. Yang terpenting ialah ketekunan dan keteguhan
hati.
Kerja Keras
Di sekeliling kita cukup banyak orang yang ahli di
bidangnya masing-masing. Ada dokter yang cukup dengan meraba badan pasien ia
sudah bisa menerka penyakit yang diderita. Ada perajin tikar, yang sambil
bicara tanpa melihat ke bagian tangannya bisa merajut purun dengan rapi. Ada
pemain sirkus yang begitu enteng melipat-lipat tubuhnya atau berjumpalitan di
udara. Mungkin kita takjub dan berdecak kagum melihat kepiawaian mereka itu.
Namun perlu diingat, bahwa semua keterampilan tersebut merupakan hasil dari
kerja keras. Setiap hari mereka belajar, baik dari teori maupun praktik
langsung. Bahkan, ada yang dari kecil sudah mempersiapkan diri.
Sebelum sampai pada tahap ahli, terlebih dulu mereka
bekerja keras. Tekun berlatih itulah kunci kesuksesan. Tak peduli sekecil
apapun potensi yang dimiliki, selama punya kemauan kuat dan istiqomah, insya
Allah terbuka jalan bagi terwujudnya cita-cita.
“Seandainya orang tahu betapa kerasnya usaha saya dalam mencapai tingkat
keahlian sekarang, apa yang saya hasilkan tidak akan tampak begitu
menakjubkan,” ungkap seorang pelukis sekaligus pematung ternama Michelangelo.
Jadi, tak usah heran jika menyaksikan seorang penulis
yang sekali duduk di depan komputer bisa menghasilkan beberapa tulisan dengan
kualitas lumayan bagus. Berbagai ide seolah tak habis-habisnya mengalir dari
batok kepalanya. Kapan dan di mana saja ia mampu menuangkan gagasan ke dalam
bentuk tulisan secara sistematis dan lancar. Tapi, tahukah kita bahwa kepiawai
itu merupakan akomulasi dari kerja kerasnya selama ini?
Kemudian boleh jadi timbul perasaan ‘iri’ kita dalam pengertian positif
ingin memiliki kepiawai serupa. Sah-sah saja. Kalau orang lain mampu, kenapa
kita tidak? Tinggal sejauhmana kegigihan kita berusaha untuk merealisasikannya.
Bayangkan, air yang dianggap lemah saja, karena setiap hari menetes di atas
batu goa akhirnya berhasil melobangi benda keras itu.
Begitu pula dengan keterampilan menulis, sekiranya di asah setiap hari,
sesuatu yang semula sulit, niscaya berangsur menjadi mudah.
Karena itu, jika kita serius pengin jadi penulis, maka
luangkanlah waktu setiap hari buat menulis. Terserah mau menulis apa saja. Dari
pembiasaan itulah kemampuan menulis kita akan meningkat.
Kepala mumet, naskah tak kunjung
selesai, deadline sudah hampir di depan mata. Jantung kebat-kebit. Ke mana
idekuuuuuu?! Jungkir balik gak dapet ide. Guling-guling malah ketiduran. Ide
tak kunjung mampir ke kepala. Bingung, ‘kan? Nah… itu artinya, kamu sedang
mengidap Writers Block. Apa itu Writers Block? Blok tempat
tinggal para penulis. Eh, bukan. Writers Block itu penyakit umum
penulis, di mana si penulis sedang dalam keadaan kebuntuan ide. Alias miskin
ide.
Ada penyakit, tentu ada
obatnya, ‘kan?
Nah… kebanding bete, yuk, kita
simak enam langkah mengobati si penyakit Writers Block ini.
Coba dengarkanlah musik atau lagu. Biasanya,
musik membawa inspirasi berlimpah, loh. Apalagi music atau lagu-lagu
favoritmu. Musik juga akan membantu kamu membangun mood kembali.
Coba cari kata-kata bijak di internet. Kata-kata
tersebut juga bisa menjadi ladang ide kamu. Selain kamu termotivasi, kamu
juga bisa memasukkan kata-kata tersebut ke dalam naskahmu, tapi sesuaikan
dengan genre naskah, ya.
Coba baca karya orang lain. Karya-karya mereka
juga akan memotivasi kamu agar menyelesaikan naskah kamu. Belum lagi kalau
kamu terinspirasi dari artikel atau cerita yang dibuat orang lain.
Refreshing
alias jalan-jalan. Tidak perlu jalan-jalan sampai
shopping ke Singapura. Cukup jalan kaki saja di sekitar rumah,
mungkin setelah melihat keceriaan anak-anak SD bermain, atau ketika
mendengar gosip dari ibu-ibu tetangga, kamu bisa segera mendapatkan ide.
Ingat! Ide ada di mana-mana!
Nonton film-film yang kamu suka. Seperti Film Hollywood,
Bollywood, Anime dan sinetron. Boleh juga agak-agak nyontek
adegan dari film itu, tuh. Apalagi kalau emosi kamu benar-benar dimainkan
oleh adegan di film itu.
Berkhayal. Ini sarana paling gampang. Hadirkan
saja duniamu sendiri di dalam imajinasimu. Coba bayangkan bagaimana
rasanya kalau kamu jadi pejabat. Apa yang akan kamu lakukan? Atau,
seandainya saja ada artis beken yang nembak kamu? Atau bayangkan asyiknya
kamu bertualang di dunia penuh monster.
Hm… keenam langkah ini
hanyalah tips-tips ringan agar kamu terbebas dari penyakit mengerikan bernama Writes
Block. Kalau sudah kena Writers Block, duh, produktifitas terganggu!
Nah, dengan menerapkan keenam langkah ini, ayo kita
berantas Writes Block! Hasilkan karya-karya yang bermutu, produktif, dan
akhirnya jadi penulis kreatif, deh. Selamat berkarya, Kawan!
Pada dasarnya, menulis cerita itu
mudah, termasuk cerita pendek (cerpen). Sehari-hari, kita tidak lepas dari
komunikasi. Kita terbiasa berbicara dan bercerita kepada orang lain.
Sebetulnya,
menulis cerita adalah sesederhana bercerita secara lisan kepada orang lain.
Namun, cerita ini dituangkan ke dalam bentuk tulisan, bukan lisan. Artinya,
kita “berbicara”, menuangkan ide lewat huruf dan kata di atas kertas.
Ketika kita
berbicara tentang cerpen Islami, bercerita bukan lagi sekadar menuangkan ide di
atas kertas, namun menyampaikan pesan dakwah kepada yang membaca tulisan kita.
Cerpen Islami adalah sebuah media penyampaian nilai-nilai Islami ketika dakwah
tidak lagi sebatas berceramah.
Jika Anda
memiliki minat untuk menulis cerpen Islami, berikut beberapa kiat yang mungkin
Anda butuhkan.
Sebelum
menulis, tentukan tema cerpen Anda. Dalam cerpen Islami, tema yang dipilih
dapat berupa nilai yang diajarkan dalam Islam, seperti ukhuwah
(persaudaraan), kemanusiaan, taubat, keimanan, amanah, kedermawanan,
semangat beribadah, perjuangan, dan sebagainya. Jangan bingung mencari
ide. Ide bisa ditemukan di mana saja, dari pengalaman Anda, kejadian di
jalan, tempat kerja, sekolah atau rumah, buku yang Anda baca, film yang
Anda tonton, pengalaman orang-orang sekitar, dan sebagainya.
Buatlah
alurnya. Tidak perlu ditulis, cukup dibayangkan saja. Boleh juga jika
ingin ditulis. Usahakan alurnya seunik mungkin agar pembaca tidak bosan.
Upayakan alur cerita tidak “standar”, misalnya ada orang berdosa lalu
bertemu ustadz kemudian bertobat. Alur ini sudah terlalu biasa walaupun
bisa jadi menarik bergantung kepintaran Anda meramu karakter, dialog, dan
klimaks. Oya, setiap alur cerita harus ada klimaksnya dan sebaiknya satu
saja, jangan sampai ada dua klimaks.
Jangan
pusing memikirkan kalimat pertama. Tulis saja walaupun Anda pikir kalimat
itu harusnya ada di tengah tulisan. Dengan langsung menuju inti tulisan,
pembaca tidak akan menangkap kesan bertele-tele.
Jangan
pusing memikirkan tanda baca dan aturan EYD. Tentu, Anda yang sudah mahir
dalam tata bahasa, ini tidak masalah. Sayang jika Anda berpotensi menulis,
lalu harus berhenti hanya karena Anda lemah dalam tata bahasa. Jadi, tulis
saja. Anda bisa mencari teman Anda yang lebih pandai dalam tata bahasa untuk
menjadi editor atau mengedit sendiri, namun setelah tulisannya jadi.
Dengan sering menulis, tata bahasa Anda akan terlatih juga.
Gunakan
kata ganti pertama (aku). Walaupun boleh saja menggunakan kata ganti
ketiga, para penulis terkenal banyak yang menggunakan kata ganti pertama.
Dengan menggunakan kata ganti “aku”, pembaca akan lebih terhanyut dalam
cerpen Anda.
Karena
cerpen ini Islami, pastikan kontennya sesuai dengan ajaran Islam. Untuk
itu, Anda dapat berkonsultasi dengan ustadz atau teman Anda yang lebih
mengerti agama.
Terakhir,
think simply. Berpikirlah sederhana. Tulislah apa yang memang
tersirat dalam pikiran Anda. Jangan terlalu rumit. Mungkin Anda pernah
membaca cerita-cerita rumit yang membuat Anda mengagumi penulisnya. Namun,
serumit apapun cerita itu, sang penulis pastilah memulainya dari lintasan
ide yang sederhana.
Beberapa orang berpendapat bahwa membuat judul untuk sebuah karangan fiksi
itu sulitnya bukan main, tetapi ada juga beberapa orang yang berpikir
sebaliknya. Judul suatu karangan, sederhananya memiliki fungsi untuk merepresentasikan
garis besar cerita, apa yang membedakannya dengan karangan yang lain. Judul
karangan adalah taruhan bagi seorang pengarang. Judul karangannya yang menarik
dan eye-catching namun tetap tidak norak, akan membuat pembaca tertarik untuk
membaca keseluruhan cerita. Namun demikian, judul tidak melulu tentang
bagaimana cara membuat pembaca tertarik untuk membaca cerita Anda. Judul harus
benar-benar dapat memberi batasan kondisi “here and now” cerita Anda pada
pembaca. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa judul juga berfungsi untuk
menyetel “mental set” pembaca agar lebih siap dalam menikmati karangan Anda.
Beberapa judul telah secara tidak langsung memberi tahu pembaca seperti apa
karangan yang akan mereka baca, contohnya: “Misteri Pembunuhan Si Pendekar
Kampus”, “Bangkit dari Kubur, “Cintapuccino”, dll.
Namun perlu diingat bahwa judul yang berlebihan malah akan dapat menjadi
bumerang bagi Anda. Judul yang “too good too be true” bisa jadi membuat pembaca
khawatir bahwa isi cerita di dalamnya tidak sedahsyat “aumannya”. Karena itu
sebagai penulis, kita harus berhati-hati dalam menggarap judul. Judul yang
kurang baik dapat membuat pembaca meninggalkan karangan kita sebelum sempat
membaca paragraph pertama. Bagi penulis, itu adalah mimpi buruk.
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan dalam membuat judul sebuah
karangan.
1.Cara termudah untuk membuat judul
adalah, percaya atau tidak, dengan menampilkan setting di mana atau kapan
cerita itu terjadi. Karena itu banyak dijumpai karangan berjudul, “Di Lereng
Bukit…..”, “Di Pantai ….., “Kisah Sedih di Malam Minggu”, dll. Saya memandang
cara itu sebagai cara yang paling “kurang kreatif” dalam membuat judul. Cara
itu satu tingkat lebih tinggi dari kondisi putus asa dan khawatir jika tidak
dapat membuat judul yang baik. Saya hanya akan melakukan cara itu jika
benar-benar sudah mengalami kebuntuan, dan agaknya semua cara yang saya lakukan
untuk membuat judul yang lebih baik, gagal. Cara itu bisa berhasil baik untuk
pembaca yang kebetulan punya ikatan dengan tempat atau waktu seperti yang
ditampilkan di cerita itu. Namun tetap dilihat dari sisi teknik penyusunannya,
saya tidak merekomendasikan cara itu. Terkadang beberapa penulis cerdik
memanfaatkan tehnik ini dan dapat berhasil. Caranya adalah mengaitkan judul dengan
setting yang memiliki nilai emosional tersendiri, contoh: peristiwa gempa bumi
di Yogya, tsunami di Aceh, penaklukan puncak himalaya, dll. Saran saya adalah,
jika Anda memang ditempatkan pada kondisi yang mengharuskan Anda menggunakan
metode ini, pilihlah secara cermat setting yang ingin Anda tampilkan sebagai
judul. Jangan sampai pembaca merasa bahwa setting di judul ini hanya sekedar
tempelan, dan tak punya nilai urgensitas.
2.Cara terburuk lainnya untuk membuat
judul adalah dengan menggambarkan dengan jelas sekali cerita Anda kepada
pembaca, sehingga tanpa membaca cerita Anda pun, pembaca sudah bisa menebak
akan ke mana cerita ini berakhir. Judul-judul senada : ”Tragedi....”, “Karma”,
“Suatu Hari yang Sedih di….”, ”Kemalangan....”, sebaiknya tidak perlu
sering-sering dipakai. Namun demikian saya tidak memungkiri ada beberapa
penulis yang punya nyali untuk membuat judul ”Pembunuhan......” dan karangannya
itu meledak di pasaran. Pada paragraf pertama, pembaca sudah disodori akhir
cerita itu, yaitu meninggalnya ”Mr.....”. Namun demikian uniknya cerita itu
mampu menggiring pembaca untuk sedikit demi sedikit membuka rahasia di balik
kematian si tokoh di cerita itu. Cara itu adalah metode yang jenius, namun
demikian tidak semua orang bisa melakukannya. Jika Anda tidak cukup percaya
diri untuk melakukannya, cobalah cara yang biasa saja.
3.Banyak penulis yang berkonsentrasi
pada rima judul yang mereka buat. Itu adalah suatu pertimbangan yang bagus,
karena perpaduan bunyi yang bagus biasanya dapat menggelitik pembaca. Pembaca
akan berpikir bahwa penulis yang menciptakannya pastilah seorang yang kreatif.
Ini sudah cukup dijadikan jaminan bahwa cerita yang dihasilkannya pun tentu
bagus.
4.Kita harus menyadari bahwa kadang
kalimat yang pendek lebih efektif dan memiliki kesan lebih kuat daripada
kalimat panjang yang bertele-tele. Coba saja, adakah kata makian yang terdiri
dari kalimat yang panjang? Biasanya mereka malah terdiri dari dua suku kata
saja.Namun demikian, jika Anda terpaksa harus membuat judul yang panjang,
yakinkan bahwa Anda telah mencoba membacanya dengan keras dan juga
menunjukkannya pada teman Anda,bahwa judul Anda tidak akan dipersepsikan lain.
Panjangnya judul ini bisa disiasati dengan mensinkronkan bunyinya. Contohnya
adalah salah satu karangan yang berjudul : ”Kutunggu
Datangmu Hanya Untukku”
5.Salah satu cara kreatif dalam
membuat judul adalah memunculkan suatu kontradiksi. Ini dilakukan dengan cara
memuat dua atau lebih unsur yang bertolak belakang, misalnya ”You Love Me, You
Love Me Not”. Dengan cara ini pembaca biasanya akan menjadi penasaran dan
selanjutnya membaca karangan Anda untuk menemukan hubungan tersebut.
Aku hanyalah salah satu dari jutaan bintang ditengah luasnya langit. Berusaha bersinar terus-menerus meski tidak seterang bintang lain. Aku akan tetap menjadi diri sendiri untuk mencari jati diri.