Piawai Menulis Buah
Ketekunan
Penguasaan terhadap suatu keterampilan terbukti dapat
memuluskan jalan hidup seseorang. Karena itu, penting bagi setiap individu
untuk membekali diri dengan keahlian tertentu. Caranya bisa melalui pendidikan
formal maupun otodidak.
Sebuah keterampilan, termasuk kemampuan menulis, tentu
tidak diperoleh secara simsalabim, melainkan lewat proses yang cukup panjang.
Tidak ada penulis yang lahir instan. Kalaupun ada yang begitu muncul langsung
‘menyentak’ jagad kepenulisan, sebenarnya tidaklah demikian. Jauh sebelumnya si
bersangkutan telah menempa dirinya, hanya saja mungkin luput dari sorotan.
Boleh jadi selama ini dia getol menulis, tapi tidak terpublikasikan.
Begitu pula para penulis yang sekarang kita kenal sangat produktif, mereka
tidak serta‑merta piawai menulis. Dulunya juga mengalami banyak kendala, sering
macet dan tersendat‑sendat saat hendak menuangkan gagasan. Namun, berkat tekun
belajar, terus berlatih dan berlatih, seiring perjalanan waktu kemampuan
menulis mereka pun semakin lancar.
Suatu hari, karena penasaran dengan produktivitas La
Rose yang luar biasa dalam menulis dia ditanya, “Berapa lama waktu yang Anda
perlukan untuk menyelesaikan satu tulisan?” Tanpa diduga dia menjawab: “15
tahun!”
Keruan saja si penanya kaget dan bingung. Sejenak
kemudian La Rose pun menjelaskan, bahwa dia memang bisa merampungkan sebuah
tulisan dengan mudah, hanya butuh sekian menit. Tapi untuk sampai pada tahap
piawai menulis seperti itu, tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya; bagaimana
dulu susahnya ia berusaha menembus media massa. Entah berapa banyak tulisannya
yang ditolak dan berakhir di tong sampah redaksi. “Untungnya, puluhan tahun
silam saya tak mudah menyerah, sehingga sekarang bisa menulis dengan mudah,”
kata pengarang perempuan itu pada wartawan yang mewawancarainya.
Pengalaman La Rose (alm) tersebut kiranya layak
dijadikan pelajaran, terutama bagi yang merintis karir di bidang kepenulisan,
bahwa kegagalan itu adalah hal yang lumrah. Mental seperti inilah yang harus dimiliki
oleh calon penulis. Sebab, berapa banyak mereka yang sebetulnya potensial, tapi
karena tak kuat menghadapi penolakan, terpaksa mengubur impiannya. Padahal jika
dia mau bertahan, cepat atau lambat, pasti kelak akan berhasil menjadi penulis
handal.
Di dunia ini tak ada hal yang lebih menentukan dari
ketekunan, ujar Calvin Coolidge. Bakat tidak, sebab betapa banyak orang
berbakat yang jauh dari kesuksesan. Jenius pun tidak, karena jenius yang gagal
hampir ada di mana‑mana. Juga bukan pendidikan, karena di dunia ini penuh
dengan pengangguran intelektual. Yang terpenting ialah ketekunan dan keteguhan
hati.
Kerja Keras
Di sekeliling kita cukup banyak orang yang ahli di
bidangnya masing-masing. Ada dokter yang cukup dengan meraba badan pasien ia
sudah bisa menerka penyakit yang diderita. Ada perajin tikar, yang sambil
bicara tanpa melihat ke bagian tangannya bisa merajut purun dengan rapi. Ada
pemain sirkus yang begitu enteng melipat-lipat tubuhnya atau berjumpalitan di
udara. Mungkin kita takjub dan berdecak kagum melihat kepiawaian mereka itu.
Namun perlu diingat, bahwa semua keterampilan tersebut merupakan hasil dari
kerja keras. Setiap hari mereka belajar, baik dari teori maupun praktik
langsung. Bahkan, ada yang dari kecil sudah mempersiapkan diri.
Sebelum sampai pada tahap ahli, terlebih dulu mereka
bekerja keras. Tekun berlatih itulah kunci kesuksesan. Tak peduli sekecil
apapun potensi yang dimiliki, selama punya kemauan kuat dan istiqomah, insya
Allah terbuka jalan bagi terwujudnya cita-cita.
“Seandainya orang tahu betapa kerasnya usaha saya dalam mencapai tingkat
keahlian sekarang, apa yang saya hasilkan tidak akan tampak begitu
menakjubkan,” ungkap seorang pelukis sekaligus pematung ternama Michelangelo.
Jadi, tak usah heran jika menyaksikan seorang penulis
yang sekali duduk di depan komputer bisa menghasilkan beberapa tulisan dengan
kualitas lumayan bagus. Berbagai ide seolah tak habis-habisnya mengalir dari
batok kepalanya. Kapan dan di mana saja ia mampu menuangkan gagasan ke dalam
bentuk tulisan secara sistematis dan lancar. Tapi, tahukah kita bahwa kepiawai
itu merupakan akomulasi dari kerja kerasnya selama ini?
Kemudian boleh jadi timbul perasaan ‘iri’ kita dalam pengertian positif
ingin memiliki kepiawai serupa. Sah-sah saja. Kalau orang lain mampu, kenapa
kita tidak? Tinggal sejauhmana kegigihan kita berusaha untuk merealisasikannya.
Bayangkan, air yang dianggap lemah saja, karena setiap hari menetes di atas
batu goa akhirnya berhasil melobangi benda keras itu.
Begitu pula dengan keterampilan menulis, sekiranya di asah setiap hari,
sesuatu yang semula sulit, niscaya berangsur menjadi mudah.
Karena itu, jika kita serius pengin jadi penulis, maka
luangkanlah waktu setiap hari buat menulis. Terserah mau menulis apa saja. Dari
pembiasaan itulah kemampuan menulis kita akan meningkat.
Kayak apa pendapat dangsanak, akur juakah?
0 komentar:
Posting Komentar